Hanoman

Hanoman

Minggu, 31 Oktober 2010

Indonesia Bermula dari Puisi

Ubud, Kompas - Puisi Nusantara sudah ada jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Puisi itu tumbuh di dalam masyarakat, merepresentasikan keragaman budaya, agama, dan suara masyarakat pada waktu itu. Bahkan negeri bernama Indonesia pun berawal dari imajinasi. Dan puisi adalah imajinasi.

Perbincangan mengenai keberadaan puisi di Indonesia ini muncul dalam panel diskusi yang mempertemukan dua ”legenda hidup” kesusastraan Indonesia, Sitor Situmorang dan Sutardji Calzoum Bachri, Sabtu (9/10) di Galeri Neka, Ubud, Bali, pada acara Ubud Writers and Readers Festival.

Keduanya didampingi dua penulis muda, yaitu Medy Loekito dan Wendoko, dengan moderator Debra Yatim dan penerjemah Wayan Juniartha.

Sitor yang dikategorisasikan sebagai sastrawan Angkatan ’45 mengatakan, pengategorisasian para penyair ke dalam ”periode-periode” bukanlah hal penting bagi dirinya. Hal itu hanya mempermudah pembaca untuk menempatkan penyairnya dalam kurun waktu tertentu.

”Karena, sebelum Indonesia merdeka pun puisi itu sudah ada, karena puisi itu merefleksikan kehidupan sosial masyarakat saat itu. Puisi adalah warisan budaya,” kata Sitor.

Sutardji juga sependapat. Seniman, menurut dia, tidak peduli soal pengategorisasian. ”Itu urusan kritikus. Tapi, memang ada tahun-tahun yang merefleksikan selera tertentu. Misalnya, pada tahun 1945, semangatnya adalah kemerdekaan,” katanya.

Sutardji mengatakan, puisi itu begitu hebat sampai negara ini pun terbentuk lewat puisi. ”Sumpah Pemuda adalah puisi karena itu adalah imajinasi. Pada saat itu tidak ada Tanah Air Indonesia, tidak ada bangsa Indonesia, tidak ada bahasa Indonesia. Ini semuanya menunjukkan hebatnya kekuatan puisi,” ujar Sutardji.

Mengenai relevansi puisi dalam kehidupan masyarakat saat ini, Sutardji dalam sesi bincang-bincang sebelumnya mengatakan bahwa puisi akan selalu relevan. ”Selama masih ada semangat, puisi akan tetap relevan. Hidup akan selalu membutuhkan puisi karena masyarakat itu memiliki jiwa dan nilai-nilai. Hanya mungkin pendekatannya saja yang berbeda. Anak muda mungkin memilih pendekatan yang lebih pop, sementara mereka yang lebih religius mungkin lebih menyukai sesuatu yang mengarah pada sufisme,” kata Sutardji.

Reputasi

Menanggapi pertanyaan, mengapa di Indonesia seorang penyair bisa memiliki reputasi yang dihormati, berbeda dengan kondisi di negara Barat di mana penyair sering dianggap memiliki masa depan suram sehingga persentasenya sangat minim, Sutardji yang pernyataannya sering mengundang tawa riuh penonton tersebut mengatakan, ”itu karena populasi Indonesia itu jauh lebih banyak. 200 juta. Satu persen saja sudah banyak sekali.”

Selain itu, lanjutnya, masyarakat dan keluarga Indonesia sangat permisif. ”Anaknya mau jadi penyair, silakan. Juga kultur masyarakat Barat yang penuh ambisi menguasai sesuatu, yang tidak dimiliki bangsa ini. Bangsa ini juga terlalu toleran, makanya Soeharto bisa menjadi presiden lama sekali. Tak salah kita disebut sebagai soft people,” ujarnya.

Meski demikian, tidak berarti kehidupan berkesenian di Indonesia mulus-mulus saja. Seniman Nyoman Nuartha atau kurator Enin Supriyanto mengalami restriksi terhadap karya-karyanya.

Dalam panel diskusi bersama Maurice O’Riordan dari Australia dan Yason Banal dari Filipina, Nyoman mengatakan, beberapa waktu lalu dia harus merelakan karya seninya ”Tiga Mojang” di Bekasi ditumbangkan.

Enin juga menunjukkan karya-karya seni di Indonesia yang pernah dipaksa dikeluarkan dari pameran. Pengalaman hampir serupa juga dialami Yason Banal di Filipina. (MYR)

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010

Bahasa Daerah di Ambang Kepunahan

JAKARTA (Lampost/MI): Kemajuan teknologi dan mudahnya akses informasi menyebabkan banyak bahasa lokal atau bahasa daerah di Indonesia nyaris punah. Pasalnya, anak-anak tidak mau lagi menggunakan bahasa daerah.

"Bahasa daerah lebih banyak digunakan orang tua," kata Koordinator Intern Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani dalam penjelasannya tentang kegiatan Bulan Bahasa di Jakarta kemarin. Yeyen tidak bisa menyebutkan berapa banyak bahasa daerah yang punah atau nyaris punah. Namun, enam bahasa lokal di Maluku Utara dan Papua punah.

Kemunduran bahasa lokal itu juga terjadi di berbagai negara. Menurut dia, dalam 50 tahun terakhir, ada sekitar 100 bahasa lokal yang punah atau tidak ada lagi penuturnya. "Dari jumlah itu, 10% di antaranya ada di Indonesia."

Berkurangnya penggunaan bahasa lokal dibarengi makin banyak kotakasa bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Sekitar ada 2.000 kosakata bahasa asing atau bahasa lokal yang sudah masuk dalam ejaan bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa lokal yang paling banyak masuk dalam kosakata bahasa Indonesia cukup beragam, tidak lagi didominasi bahasa Jawa. Namun, Yeyen yakin jumlah kosakata asing yang masuk akan lebih banyak lagi di masa mendatang.

Sementara itu, Kunjana R. Rahadi, konsultan ahli bahasa media, berpendapat bahasa daerah saat ini tengah dalam kondisi mati segan hidup tak mau.

Ia mengakui saat ini sudah mulai banyak orang dengan penuh kesadaran bertutur dan melestarikan bahasa daerahnya. Namun, upaya itu tidak bisa mengubah kondisi bahasa daerah yang tengah mati suri. "Ibaratnya berteriak di padang pasir, tidak ada yang mendengarkan," kata Kunjana.

Menurut dia, kedudukan bahasa daerah sebagai penyangga bahasa Indonesia mulai tergusur perannya oleh bahasa asing. Hal itu disebabkan pengguna bahasa Indonesia lebih memilih menyerap kata-kata asing daripada bahasa daerahnya sendiri. "Dalam era otonomi daerah ini, daerah memiliki kesempatan untuk bisa mengembangkan bahasa daerah. Ini kesempatan yang cukup baik," ujar Kunjana. (R-1)

Sumber: Lampung Post, Kamis, 21 Oktober 2010

Gamelan Mendunia karena Humanis

-- Aris Setiawan

BEBERAPA dekade terakhir, gamelan menjadi ramai diperbincangkan dunia. Hal terakhir yang dapat kita temui adalah berlangsungnya Festival Gamelan Dunia di Trengganu, Malaysia, Juli 2010 lalu. Terdapat puluhan kelompok gamelan yang tampil dari beberapa negara, termasuk Indonesia. Sejak diberlangsungkannya Festival Gamelan Dunia pertama tahun 1986 di Kanada, tercatat setidaknya terdapat seratusan lebih kelompok ensambel dan studi gamelan di Amerika Serikat, belum lagi di negara lain.

Bahkan, menurut Rahayu Supanggah, penggagas Festival Gamelan Dunia, Singapura tahun ini telah menjadikan gamelan sebagai mata pelajaran wajib di berbagai sekolah dasar pada hampir sebagian wilayahnya. Sebelumnya, hal serupa pun terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang. Di negara-negara maju tersebut, gamelan telah menjadi mata kuliah wajib pada universitas-universitas unggulan. Gamelan tidak lagi menempati posisi sebagai alat musik ”rendahan”, ”tak beradab”, atau hal negatif lain sebagaimana pandangan para sarjana atau peneliti ”Barat” dalam menilai budaya kita dulu (Rizaldi Siagian, Kompas 13/12/2009). Gamelan kini telah gagah bersanding dengan alat musik bangsa lain sebagai sarana pembelajaran yang terbentang ke penjuru dunia.

Di Amerika, gamelan Jawa nangkring di universitas-universitas unggulan, seperti Universitas California di Berkeley (gamelan Kyai Udan Mas), San Jose University (gamelan Sekar Kembar), Lewis and Clark College (Kyai Guntur Sari), Michigan, Wiscounsin, Northern Illinois, Oberlin, Wesleyan, dan ratusan universitas terkemuka lainnya.

Sementara di Jepang, gamelan sudah menjadi media ajar di berbagai universitas, seperti Tokyo University of Fine Art and Music dengan grup gamelannya yang bernama Kyai Lambang Sari, di Kuntachi College of Music (Gamelan Sekar Jepun), Dharma Budaya Osaka University, Hyogo University, Tokyo Osaka-Tohogakuen (semuanya college of music). Sementara ratusan bahkan ribuan lainnya tersebar di Benua Eropa.

Unik

Konsep bunyi gamelan tidak hanya ditentukan oleh kandungan teoretis fisika seperti halnya sistem bunyi pada musik Barat. Misalnya bagaimana alat musik Barat memiliki pitch yang akurat dalam jarak yang beraturan (interval) dengan berbagai perimbangan-pertimbangan ukuran frekuensi tertentu. Hal tersebut menghasilkan totalitas warna bunyi yang bersifat baku dan absolut (Aris Setiawan, 2009).

Namun, dengan sistem bunyi ”musik Barat” (diatonis) yang seragam itu, berarti tak ada pilihan dan kemungkinan lain yang bisa ditoleransi. Sistem nada menjadi begitu ketat dengan harga mati. Sedikit saja ia berubah, maka dianggap salah atau keliru. Dengan demikian, nada dalam berbagai alat Musik Barat itu (gitar, piano, saksofon, biola, dan lain sebagainya) adalah sama, terstandar.

Bagi Suka Hardjana (2004), dalam gamelan segala aspek yang berkaitan dengan bunyi sebagai totalitas getaran dan gelombang suara diterima sebagai suatu kenyataan. Akibatnya, segala hal yang berhubungan dengan pencapaian bunyi dalam gamelan tidak mengenal salah atau keliru. Nada minir, sumbang (falsch) sengaja dihadirkan demi tercapainya kesan dan pencapaian kadar estetik yang tinggi. Lihatlah bagaimana masyarakat Malang (Pelog Temor) dalam melantunkan vokal gamelan yang terkesan sumbang, interval nada vokal dengan nada gamelan tidak match, terdapat jarak. Atau gending Pamegatsih di Surakarta yang juga banyak menggunakan nada-nada minir. Bagi komponis musik Barat, tentu saja hal tersebut dianggap salah karena falsch. Namun, bagi dunia gamelan, hal itu adalah kekuatan estetika yang terdalam. Tidak ada batasan seberapa persen kadar keminiran (sumbang) nada yang dapat ditoleransi. Dengan demikian, gamelan dapat memicu munculnya beribu nada baru.

Keunikan wilayah nada seperti tersebut di atas, menjadikan gamelan sebagai bahan eksperimen yang penting bagi seniman dan akademisi di dunia. Pengembaraan bunyi, eksplorasi berbagai kemungkinan senantiasa dilakukan untuk membentuk gamelan menjadi maistream budaya baru bagi kultur mereka yang cenderung berbeda. Bahkan tidak menutup kemungkinan dalam penjelajahannya, mereka akan menemukan satu formula musikal yang berbeda dengan di Nusantara, dan menjadi salah satu pisau unggulan gamelan di luar Indonesia. Itulah yang terjadi pada kelompok gamelan Lambang Sari dari Jepang sewaktu tampil di Solo International Performing Arts (SIPA) pada 18 Juli 2010 lalu. Mereka memainkan gamelan dengan kaidah-kaidah musikal menurut cara pandang mereka sendiri, bukan lagi ”Jawasentris”. Akibatnya, muncul nuansa dan warna musikal baru yang lebih segar.

Humanis

Gamelan tumbuh subur di beberapa bagian dunia juga karena makna musikalnya yang humanis. Hal inilah yang melatarbelakangi gamelan di beberapa negara digunakan sebagai sarana pendidikan kepribadian. Bahkan, di Perancis digunakan sebagai sarana terapi kejiwaan di berbagai penjara yang ada (Danis Sugianto, 2009).

Bermain gamelan berarti menghayati akan arti kebersamaan. Gamelan tidak dapat dimainkan secara tunggal. Berbeda dengan musik Barat, seperti piano, gitar, biola yang dapat melangsungkan konser secara mandiri. Namun, dalam gamelan, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Tidak mungkin bonang, kendang, demung, kempul, atau bahkan kenong melangsungkan konser tunggal tanpa disertai instrumen gamelan lainnya. Mereka harus hidup dalam hierarki satu kesatuan musikal. Saling mengikat antara satu instrumen dengan instrumen lain, sehingga saling membutuhkan. Dengan demikian, rasa kebersamaan tergelar dalam makna filosofisnya.

Bermain gamelan berarti menghilangkan sifat egois dan individual. Setiap pemain harus menghargai pemain lainnya. Tidak ada yang paling menonjol. Semua bermain dalam satu kesetaraan bunyi, tidak ada yang lebih keras dan lebih lirih. Semua terikat dalam hukum-hukum dan kaidah toleransi yang tinggi. Ketika satu instrumen memberi aba-aba atau kode musikal, maka instrumen lain harus tanggap. Pada konteks ini tidak ada konduktor (pemimpin), semua bermain dalam takaran kebersamaan untuk saling mengerti dan dimengerti. Komunikasi musikal menjadi hal utama dan ”rasa” adalah pencapaian tertinggi yang dituju.

Rahayu Supanggah, yang juga guru besar bidang gamelan —karawitan—pernah menjadi saksi bagaimana orang-orang non- pribumi menangis karena gamelan. Mereka yang terkenal individual, kemudian harus turut larut dalam kaidah-kaidah kebersamaan yang dibangun oleh gamelan. Pada titik inilah ”rasa” berubah menyentuh sensibilitas perasaan terdalam manusia. Bagitulah gamelan dihayati dan dimengerti oleh masyarakat di dunia. Mereka semakin sadar akan arti penting hadirnya gamelan. Sementara di Indonesia?

Sumber: Kompas, Minggu, 10 Oktober 2010

Minggu, 24 Oktober 2010

Visi dan Misi

- merepresentasikan seni budaya Indonesia sebagai satu kesatuan dalam berbagai elemen kesenian daerah yang beragam dan unik.

- memanfaatkan teknologi informasi dan jejaring sosial untuk mengangkat seni budaya nasional dengan mengajak semua pihak baik dalam maupun luar negeri.

- mengajak generasi muda untuk bersama melestarikan, menjaga dan mengapresiasikan seni budaya Indonesia